Sunday, November 24, 2013

"TAWURAN PELAJAR VS KUNTILANAK"



Saya tidak tahu persis mengenai arti tawuran yang sebenarnya, tapi yang jelas jaman saya mendirikan sekolah dulu, saya juga pernah sempat terlibat didalam tawuran dan menikmati sensasi kekisruhan di tengah keramaian.

Mereka ada yang berteriak dan melepaskan sifat emosional terpendam mereka, mungkin karena pengaruh lingkungan sosial ditengah keramaian, jiwa-jiwa generasi muda yang ikut didalam tawuran itu bisa muncul dengan spontanitas, tanpa adanya pemberian materi pemahaman mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan.

Nah potensi ini saya rasa sangat bernilai tinggi, sifat pantang menyerah, menimbulkan gejolak perjuangan, semboyan kebersamaan, dan pola pemikiran kritis generasi muda ini, dengan lantang mengatakan jangan ada ketakutan dalam menghadapi musuh-musuh mereka, sangat baik untuk di kembangkan.

Sifat heroik dan berani menantang dengan mengatakan “Maju kalau berani” tidak pernah sama sekali diajarkan oleh guru-guru sekolah formal yang ada dinegri kita, hal tersebut terjadi karena kebanyakan tenaga pengajar yang berada di negara kita mempunyai mental tempe, dan tidak berani membangun Argumentum ad Hominem. 

 

Ya itulah alasan yang paling tepat, para guru yang ada selalu mengajarkan murid dengan mengiktibarkan daerah lain,  dan mengseting pemikiran para pelajar dengan hal-hal yang bersifat hayal. Dengan memandang negri lain lebih maju ketimbang negri sediri, kota london penuh dengan bangunan megah, USA penuh dengan artis holiwood, Barcelona banyak pemain bola, Jepang dilengkapi teknologi dan Miyabi,  sementara kita sekarang dimana? 

 

kecondongan para guru ini tidak menitik beratkan para pelajar, bahwa sesungguhnya kita tinggal disalah satu wilayah indonesia yang lokasi geografisnya tropis berlumbur, rawa-rawa, perbukitan dan pegunungan aktif. Masyarakat lokalnya selalu akrab dengan kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, patriotisme dan kemampuan linuwih seperti santet, guna-guna, tarian, pencak silat, Si Pitung, Gajah Mada, Kian Santang, Joko Tingkir, Nyi Roro Kidul, pocong, kuntilanak, gendoruwo dan lain-lain.  

 

Sipat penekanan baik itu secara fisik maupun pembunuhan karakter selalu terjadi hampir setiap hari diakalangan para pelajar yang dilakukan oleh para guru disekolah mereka. ini terbukti dengan adanya pemberian materi pelajaran yang dimonopoli oleh setiap guru yang berada di negara kita, dan mereka tidak pernah mau menerima penyampaian materi pelajaran dari para murid-murid mereka sendiri, sehingga membuat pola pemikiran para generasi muda ini terkekang dan “Pendek akal” kata orang-orang dikampung saya.

 

Sifat emosional abstrak dan tidak tersalurkan para pelajar ini, menjadi salah satu kendala yang saya anggap paling berbahaya, karena diciptakan oleh dunia pendidikan di negri kita sendiri. Tidak ada pendidikan yang realistis mengajarkan kebebasan tampa tekanan didalam menyerap sumber ilmu pengetahuan.

 

Karena didalam pemikiran tenaga pengajar di negri kita, selalu di embel-embeli dengan pengekangan mental dan pembunuhan karakter dunia pendidikan yang selalu meminta nila tambah dana insentif, Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU) lainya, maupun mengejar pengangkatan Pegawai Negri Sipil (PNS).

 

Mungkin para pengajar yang sempat membaca tulisan ini akan membantah secara terang-terangan maksud dari argumen maupun prosa abstrak yang saya buat. Didalam pandangan saya pribadi mungkin bantahan itu menjadi pemicu kebebasan pola pikir terhadap mereka yang bersebrangan terhadap saya. Sehingga dapat menjadi nilai plus bagi mereka yang selalu beralasan, umar bakri masih menaiki sepeda dengan mengenakan tas hitam dari kulit buaya.

 

Tapi yang jelas kegagalan mereka itu sudah sangat terbukti dengan adanya, para pelajar yang menyalurkan bakat emosional terpendam mereka di jalan-jalan raya setelah mereka pulang atau di saat jam belajar mereka, untuk menarik perhatian dan menanamkan keyakinan terhadap diri mereka pribadi akan penolakan dan keberanian didalam memperjuangkan keyakinan mereka secara individu maupun secara bersama.

 

Ini jelas ada api yang menyala di dekat tabung gas dan bukan api yang menyala di atas kompor. Kebocoran emosional ini berawal dari kesalahan jalur dan sifat pengekangan mental, jika mental ini disalurakan kepada tempat yang tepat dengan penanaman jiwa dan sanubari para pelajar, mungkin saja potensi ini dapat menjadi api yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang.

 

Masalah kejiwaan dan sifat emosional ini sangat berbeda sekali dengan salah satu penduduk negri kita yang lebih dikenal dengan nama kuntilanak. Saya yakin dulu guru-guru para kuntilanak ini merupakan guru-guru handal dan tidak seperti guru-guru manusia yang ada saat ini. Dari jaman mak lampir bertarung dengan Sembara dan Kyai Jabat hingga sekarang, belum pernah saya mendengan secara langsung maupun tidak langsung berita kuntilanak tawuran.  

 

Saya yakin fenomena ini terjadi karena jin-jin kuntilanak ini selalu menanamkan Argumentum ad Hominem yang menitik beratkan hubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya, terhadap seluruh murid maupun generasi muda mereka. Sifat kuntilanak yang mencerminkan budaya dan kearifan lokal ini justru lebih mendunia ketimbang sifat manusia di negri kita sekarang ini.

 

Saya akan buktikan kepada anda selain sifat kuntilanak yang tidak pernah tawuran dan selalu menjaga toleransi atas sesamanya dan selalu menjunjung tinggi kebudayaan lokal mereka. Pertama kuntilanak sangat mencintai lingkungan, ini terbukti dengan aksi mereka di indonesia yang wilayahnya tropis. Kuntilanak sangat jelas menolak global worming dengan mendiami dan menjaga pohon-pohon besar, mereka juga jika kemana-mana selalu mengunkan pakaian adat warnah putih, saya belum mendengar ada kuntilanak mengunakan bikini.

 

Nah kuntilanak juga merupakan aktor yang sangat hebat, dimanapun tempat mereka selalu berlatih sandiwara dan memainkan mimik muka mereka, ini terbukti dengan gaya khas mereka yang terkadang muncul tiba-tiba dengan menangis atau tertawa.

 

Para kuntilanak ini juga sangat cinta dengan generasi penerus mereka, ini juga terbukti mereka sangat menyayangi anak-anak mereka, bahkan mereka kadang-kadang terlihat memberikan kasih sayang mereka terhadap anak-anak  mereka diatas pohon, maupun dipersimpangan jalan, maupun digubuk tua.

 

Saya rasa sangat banyak nilai positif para kuntilanak ini, dan jelas hal tersebut berasal dari para generasi pendahulu mereka maupun penanaman dari para guru dan tenaga pengajar mereka yang selalu menitik beratkan kebudayaan dan kearifan lokal didalam jiwa para kuntilanak ini. Bahkan salah satu suku jin yang terdapat di indonesia ini sudah sangat tenar dan diakui keberadaan mereka di daerah lokal maupun internasional.

 

Bahkan hingga saat ini belum pernah terdengar kebobokan dunia pendidikan di tempat mereka yang pernah dipublikasikan oleh awak media cetak maupun elektronik. Pendidikan dan kebudayaan lokal ini bisa kita acungi jempol, dan menjadi tantangan dunia pendidikan di negri kita ini dalam mengentaskan penomena tawuran yang kerap kali terjadi.

Saya rasa ini merupakan perbandingan yang realita yang jelas dari sudut pandang saya, jika ada yang menolak dan menyanggahnya, mereka harus mempunyai realita tersendiri dan jelas didalam menyampaikan sanggahan mereka terhadap saya, jika anda tidak mempunyai realita, asumsi saya jelas sudah berjalan didalam pemikiran anda.       

  

No comments:

Post a Comment